Friday, February 1, 2013

BintangKu

I tried to write this one, wich is start from 2012 and its finally FINISHED. You dont know how is the feeling when you finished ur own story. im not gonna giving a teaser about the ending. keep ur hope up and im gonna crush it. lol. no, kidding. so please read this shitty story. and gimme a comment guys. i appreciate it. :) btw the ending i'll post it in diff post teehee. im a bad woman. i know~




“Miracle.” Aku tersenyum membaca tulisan di majalah dinding.
“Logis.” Seorang lelaki berkata disampingku. Aku menoleh menatapnya. “Ini logis, bukan keajaiban. Obatnya bekerja, ia bangun kembali dari komanya. Bukan miracle yang Tuhan berikan.”
“Tidak lagi Bintang, aku muak berdebat denganmu.” Aku berjalan meninggalkannya.
“Takut kalah Langit?!” sentaknya. Tidak aku tidak terpancing kali ini.
Lama sudah sampai aku tidak ingat sejak kapan ia tidak percaya lagi pada Tuhannya, atau seharusnya Tuhan kami? Ia berhenti disana. Ia tinggalkan rasa percanya pada Tuhan.
“Langit.” Bintang berjalan disampingku mencoba mensejajarkan langkahku yang tergesa-berlari darinya. Tidak. Aku tidak menoleh kearahnya, sedikitpun tak meliriknya. “Berhenti berlari dari ini semua, dan akui bahwa Tuhan memang tidak ada!”
Aku berhenti berjalan, ku tatap wajahnya marah. “Jangan paksa aku untuk percaya bahwa apa yang aku percayai itu tidak ada!”
“Ini kenyataan Langit! Tuhan tidak ada! Aku hampir mati disana dan Tuhan tidak sedikitpun mengulurkan tangannya.” Ia menatapku tajam. “Tapi kau! Kau yang menolongku.”
Pelan aku menutup mataku, menenangkan diriku. “Bukan aku yang menolongmu Bintang, tapi Tuhan. Ia mengirimkan wanita itu agar Ia mau membiarkan anaknya mendonorkan jantungnya kepadamu!”
“Mengirimkan?! Ia bahkan bukan malaikat!” Bintang terdiam menarik nafas panjang. “Tidak jika kau tidak menangis dan hampir bersujud pada perempuan itu. Bukan Tuhan, sekalipun ia ada!”
“TUHAN YANG MENGGERAKKAN HATINYA!” bentakku kasar. “Shit Bintang! Kau punya seluruh kebebasanmu untuk tidak mempercayai Tuhan. Tapi jangan membawaku di jalan itu.” Aku membalikkan badanku berjalan pelan meninggalkannya, aku menoleh sebentar. “Jangan lagi, mengejarku kali ini, jika kau hanya ingin mengatakan, bahwa Tuhan itu tidak ada.” Panas. Aku bisa merasakan tatapan nanar Bintang dipunggungku.
Aku tidak menangis meminta, bukan untuk membuatmu menjadi seperti ini. Bukan untuk membuatmu memusuhi Tuhan.
。。。
Satu, dua, tiga,
“Satu. Langit.” Bintang berbaring disampingku.
Aku terdiam menyadari suaranya.
“Sebanyak apapun kau menghitung Bintang-bintang itu, hanya satu yang tetap akan kau cintai.” Aku benci saat Bintang mampu mengucapkan kenyataan yang tidak berani aku hadapi. Mencintainya. “Alkisah, dahulu kala ada seorang Raja Ethiopia yang memiliki permaisuri yang bernama Cassiopeia dan seorang putri yang bernama Andromeda…”
Aku menyenderkan kepalaku kebahunya bersiap-siap hanyut dalam dongengnya.
“Permaisuri Cassiopeia memang sangat cantik, namun kecantikannya membuatnya sombong. Kesombongan Cassiopeia membuat Venus dan para dewi laut marah. Mereka lalu megadu pada Neptunus, sang Dewa laut…”
“Kalau kau percaya pada dongeng yunani seperti ini, kenapa kau tidak percaya bahwa Tuhan itu ada?” gumamku pelan hampir larut dalam nyamannya suasana ini.
Ia terduduk. “Karena Tuhan apapun itu yang kau sebut memang tidak ada. Kau merusak moodku Langit.” Lalu Ia pergi meninggalkanku.



。。。

“Mana Bintang, Langit? Sudah lama ia tidak datang kesini.” Aku terdiam mendengar pertanyaan Luna, gadis kecil-yang mungkin ada hati pada Bintang.
            “Ia tidak berada dalam satu lingkungan denganku lagi Luna.” Jawabku tanpa mengalihkan perhatian dari buku yang kubaca.
            “Kenapa?” Luna berdiri di sampingku sambil melongok-mengintip buku yang kubaca. “Karena ia dan dengan ketidak percayaannya akan Tuhan, yang Bintang, aku dan semua orang percayai?”
            Aku diam lalu menatap mata Luna dalam, merenung akan kalimat yang terucap dari mulut gadis kecil ini.
            “Itu tidak adil, Langit. Ia tetap Bintang yang kau kenal, sampai kapanpun. Aku tahu sampai kapanpun kau akan tetap menyayanginya.” Luna menatapku dalam. “Jika kau mau ia kembali didalam satu lingkungan yang kau sebut dengan orang-orang yang mempercayai Tuhan ini. Berhenti berlari darinya. Tapi kejar ia, raih lagi tangannya.”
            “Luna dengar, kau masih kecil dan kau tidak mengerti permasalahan ini.” Pelan aku menjawab.
            “Tak berarti aku tidak paham dunia lebih sedikit darimu Langit.” Ucapnya tetap menatapku angkuh. Gadis kecil ini, ia memang selalu dapat mengejutkan setiap orang.
            “Sudahlah Luna, asal kau tau. Aku sudah berusaha untuk mengejarnya, meraih tangannya” jawabku akhirnya, entah kepada Luna kah atau pada diriku sendiri. Bahkan aku tidak dapat yakin. Jawabankah itu, atau pernyataan agar diriku tenang.
“Tak sekuat kau mencoba meminta pada Ibu itu untuk memberikan jantung anaknya kepada Bintang.” Luna tersenyum sinis, membalikkan badannya menuju ke ambang pintu. Disana ia berdiri. “Dengar kata hatimu Langit, lakukan apa yang kau mau.”
Memandang punggung Luna berjalan menghilang dari balik pintu membuatku sadar lama sudah aku tak lagi pernah berbicara pada Bintang. Tidak aku tidak marah padanya, aku kecewa pada diriku sendiri. Yang telah membuatnya menjadi seperti ini. Aku tahu aku berlari darinya karena aku takut menghadapi kenyataan ini. Aku benci mengakui ini tapi kemungkinan besar, gadis kecil ini mengatakan hal yang benar. Aku harus berhenti berlari darinya.

。。。

“Ini jelas mustahil. Tidak mungkin terjadi.” Tawa Bintang membaca sebuah artikel.
Sengaja aku menyempatkan diri mencuri pandang kepada kertas yang dipegang Bintang. Lalu memandangnya konyol. “Ya itu bisa terjadi, seandainya kau percaya bahwa Tuhan itu ada.”
“Tuhan itu tidak ada Langit.” Aku sudah hapal kata-kata ini.
Ku pandangnya miris. “Lalu anda tercipta dari apa Bintang?”
Bintang tertawa. “Saya tercipta dari sebuah proses yang bernama gestasi. Dimana sel sperma dan sel telur bertemu hingga terjadi…”
Aku menepuk dadanya. “Cut it out, maaf saya lupa anda professor besar. Tapi bukan itu yang Saya bicarakan. Apa anda pikir manusia pertama ada juga karena terjadinya sebuah proses yang bernama gestasi?”
Bintang diam.
Aku tertawa. “Atau mereka terlahir dari sebuah batu?”
Ia memandangku geram. “Saya berteguh pada prinsip saya bahwa Tuhan itu tidak ada. Terserah anda mau berbicara apa.” Lalu ia mengambil setumpukan buku miliknya dan bersegara meninggalkanku.
“Ya Bintang, pergi saja, itu membuktikan bahwa anda kalah.” Ia menoleh padaku dan menatapku sinis, lalu membalikan badannya dan dengan segera berjalan menjauh.
。。。
Tak sengaja ku tatap dalam matanya, saat aku menutup buku tentang rasi bintang. Berhasil, tanpa hitungan menit aku yakin ia akan menghampiriku. Bintang berjalan pelan menuju ke arahku. Matanya tajam menatap sampul buku yang aku genggam erat itu.
“Tak pernah ada dalam sejarah seorang sepertimu membaca buku ini seperti ini.” Sinisnya.
“Seperti ini?” aku memandang matanya. Yang seharusnya teduh itu. “Apa yang kau maksud dengan seperti ini?” tantangku.
“Buku mitos, tentang rasi Bintang. Why u bother asked me? U just read it.” Aku tahu, pasti, Bintang mulai marah.
Aku tersenyum getir. “Yah, mitos. Kalau kau bisa tahu buku ini,” Aku mengangkat buku itu tepat dihadapannya. “Adalah sebuah mitos, fiksi, berarti kau tahu apa yang nyata dan tidak.”
“Ya, aku tahu. Tuhanmu itu tidak nyata.” ia menyambar buku yang kupegang itu dengan kasar. “Dengar Bintang!” teriaknya. Tepat saat penjaga buku itu berjalan kearah kami.
“Maaf, urusan pribadi bisa kalian lakukan diluar.” Ia mengambil buku yang di pegang BIntang, lalu berjalan menjauhi kami.
“Apa yang kau lakukan Bintang?!” sentakku, saat ia menarik tanganku keluar dari perpustakaan. Ia tidak bergeming tetap menyeretku kearah taman.
“KAU!” ia melemparku kasar hingga aku terjatuh di bangku taman. “Saat kau bilang agar aku berhenti mengejarmu hanya untuk memberitahumu bahwa Tuhan itu tidak ada, aku berhenti disana pada saat itu. Ku letakkan egoku disana Langit!” napasnya memburu. Ia menatapku tajam. “Kenapa sekarang kau kembali, mengejar-ngejar yang kau bilang kenyataan ini agar aku mau mempercayainya?”
Aku terdiam, entah ribuan pikiran membuatku tak dapat berkata-kata. Ku telungkupkan tanganku menutupi wajah. Aku menggeleng. “Mungkin karena aku peduli pada..”
“Stop, jangan katakan bullshit itu lagi Langit! Kau peduli padaku? Tidak! Kau! Peduli! Pada dirimu sendiri. Bukan aku!” bentaknya kasar. Sekilas aku melihat genangan air yang perlahan mengalir di wajahnya.
Aku menatapnya heran. Aku menggeleng, tak sampai pesannya kepadaku. Aku tak mengerti.
Ia tertawa miris, mengelap butiran air mata itu. “Dari awal, kau hanya peduli pada dirimu sendiri.” Ia meletakkan tangannya tepat didadanya. “Jantung ini, kau meminta memohon pada orang itu bukan karena kau peduli padaku, bukan! Ini semua kau lakukan karena kau takut, kau takut kehilanganku. Kau takut berada di dunia ini sendiri.”
Aku terdiam, mengulas ulang tahun terakhir ini, atas apa yang aku lakukan, benarkah perkataan Bintang bahwa Aku, seegois itu.
“Dan kini saat Aku yakin bahwa Tuhan itu tidak ada, kau takut! Kau takut bahwa aku benar dan Aku akan meninggalkanmu selamanya.”
Aku menamparnya, sekuat tenaga aku menahan agar butiran air mata ini tidak jatuh mengalir, menunjukkan kelemahanku. “Mungkin kau benar bahwa aku takut kau meninggalkanku, tapi..” aku menarik napas panjang bersamaan dengan mengalirnya air mataku, mengkhianati diriku sendiri. “Untuk sepicik itu, aku membiarkanmu tetap hidup hanya karena aku takut untuk hidup seorang diri, TIDAK! Dan kau harus benar-benar tahu! Tuhan itu ada. Ia ada”
Stop denying everything.” Ucapnya sambil mengelus pipinya yang merona merah jejak kemarahanku. Lalu ia meninggalkanku.
Aku terdiam disana, menangis sekuatku membiarkan segala apa yang aku pikirkan keluar sejenak dari pikiranku. Mengosongkan isi otakku yang sudah terlalu penuh.

。。。


“Pelangi. Jika pengamat melihat pengamat lain yang tampaknya berada di bawah atau berada di ujung dari akhir pelangi, pengamat kedua akan melihat pelangi yang berbeda dari pengamat pertama meski dalam sudut yang sama seperti yang dilihat pengamat pertama.” Tenang seperti air yang dalam, tersenyum sinis menatap tepat ke arahku. Bintang disana, dipanggung itu berdiri mengutarakan pendapatnya atas keyakinan yang ia pegang teguh sekarang ini. Akan ketidak hadiran Tuhan dalam hidupnya. Dan kemungkinan besar dalam hidup manusia di bumi ini.
“Lalu kau pikir dunia ini bagaimana tercipta tanpa Tuhan? Gila.” sinis seorang peserta yang duduk dideretanku.
Bintang menatapnya tenang. “Bigbang?”
Seorang perempuan dengan Rosario yang melingkar indah di lehernya berdiri sambil mengangkat tangannya. “Perhaps u know, orang yang mencetuskan teori ini adalah seorang biarawan Katolik Roma Belgia bernama Georges Lemaitre…”
Belum selesai sang gadis menyanggah pendapat Bintang, berdiri lagi seorang lelaki memakai peci. “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air kami jadikan segalanya sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman. Surat Al-Anbiya’ : 30. Ada didalam sebuah kitab bernama Al-Quran, anda sebagai Atheis…”
Sang gadis kembali mencela. “Anda sebagai Atheis beraninya menggunakan teori atas dasar apa?”
Tak sedikit pun nampak kegelisahan dimata Bintang, ia malah nyaris tertawa. “Teori, ilmu, bukankah itu termasuk dalam pelajaran fisika?”
Si lelaki dengan peci yang masih belum juga duduk karena ketidak puasannya berseru lagi. “Pada Tahun 1981, Stephen Hawking, seorang fisikawan terkenal, saya harap anda mengenalnya, menghadiri sebuah konferensi kosmologi yang disponsori oleh vatikan. Hawking dan koleganya dipertemukan dengan paus, yang mengatakan kalau, menurut Hawking, “sah-sah saja mempelajari evolusi alam semesta setelah big bang, namun kita tidak boleh mempelajari big bang sendiri karena itu adalah saat penciptaan dan berarti pekerjaan tuhan.” Sedang si gadis melirik sambil tersenyum kecil ke arah si lelaki dengan peci.
Bintang sedikit menundukkan kepalanya, menyingkap sedikit rambutnya kebelakang membenarkan kacamatanya. “Mungkin paus tidak tahu kalau sehari sebelumnya, hawking telah memberi kuliah mengenai kosmologi inflasioner model Hawking-Hartle, sebuah model alam semesta awal yang menggabungkan mekanika kuantum dan relativitas umum untuk menunjukkan alam semesta yang, dalam kata-kata hawking, “terhingga namun tanpa batas” – yang berarti kalau alam semesta tidak tercipta, tidak punya awal atau akhir; ia ada selamanya.” Ia tertawa. “Yang kalian bilang Tuhan tidak membuat kalian abadi tapi Hawking mampu membuat dirinya sendiri ada, untuk selamanya.”
Si lelaki dengan peci menunduk perlahan duduk kembali di bangkunya. Bukan, ia tidak kalah ia butuh sumber lebih jelas untuk melawan si kafir ini. Sedang si gadis akhirnya ikut duduk dengan segelintir kecewa terlihat dikerlingan matanya, entah kecewa terhadap apa. Mengapa domba ini sulit sekali untuk diyakinkan bahwa Tuhan itu ada, pikirnya dalam hati.
“Sekali lagi simple,Tuhan kalian berbeda-beda.”
Seorang, entah siapa bagaimana rupanya berseru kencang; “Tidak tuhan kami satu kami yang berbeda.” Elaknya.
Nyaris Bintang terbahak mendengarnya. “Hey anda, siapapun anda. Beritahu saya, Tuhan kau itu! Bilang siapa yang paling benar disini? Gadis dengan Rosarionya? Atau si lelaki dengan pecinya ini?”
Diam, hening. Aula itu begitu sepi. Hembus angin pun nampaknya memecah keheningan. “Kalau Tuhan kalian satu mengapa kalian berdua tidak beranak dan berkeluarga bersama?” hardik Bintang pada kedua peserta tadi.
Sudah cukup untukku, sudahlah Bintang tidak mungkin lagi berjalan ke arah yang sama denganku, entah ia domba dungu atau seorang kafir. Aku, sudah tidak peduli. Atau setidaknya itu yang otakku pikirkan dan memberikan perintah itu keseluruh bagian tubuhku. Aku bangkit dari kursiku, hampir beranjak meninggalkan ruangan itu.
“Jangan kalian kalah atas apa yang aku percayai, aku sendiri sedang kalian dengan Tuhan kalian masing-masing, yang kalian percayai ada itu.” Bintang sinis, ya perkataannya memang tertuju padaku agar aku tidak pergi dari ruangan ini.
Aku terdiam lalu menatapnya. “Maaf Tuan,” seisi mata aula langsung tertuju ke arahku. “Aku tidak peduli atas segala teori anda yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. Karena aku percaya pada Tuhanku, ia ada. Ia menciptakanku sebagaimana kitabku menjelaskannya padaku. Aku tidak butuh alasan jelas untuk mempercayainya dan membuat kau percaya. Tapi ia ada.”
“Tunjukan Tuhan mu padaku.” DANG! Bintang apa lagi yang kau mau.
Aku tersenyum miris menunduk sebentar, belum sempat aku menjawab ia dengan lantang menghardikku. “Tak ada yang bisa kau ucapkan?!”
“Diam, tenang dan pikirkan. Kapan saat-saat tertenangmu dalam hidup ini?” tanyaku masih dengan senyum khasku yang mungkin dulu dapat meluluhkan hati lelaki ini.
Ia diam, tertunduk. Lama. Hening, seisi aula memandang ke arahnya. Membuat ia merasa semakin tersudut, terpojok dan tertekan untuk dapat menemukan jawaban di otaknya. Karena aku tau Bintang. Saat tenangmu, saat denganku dan dengan Tuhanmu.

。。。

“Langit…”
Aku terdiam, seakan kudengar seseorang berulang-ulang memanggil namaku. Aku mencoba membuka mataku. Perlahan, dan aku melihat cahaya yang begitu menyilaukan dihadapanku.
“Langit…”
“Bintang? Kaukah itu?” ucapku dalam hati. Tapi tak dapat ucapan hatiku itu berubah menjadi suara nyata. Aku terhenyak. “Bintang?” lagi ku coba memanggilnya.
Tapi Bintang seakan tidak dapat melihatku. Ia seolah-olah berada  di dimensi yang lain.
“Langit…” tangisnya, kini ia meronta. Meronta entah pada apa yang membelenggunya. Entah pada siapa tangisnya diberikan. Aku kah? Atau memang tertuju pada Langit? Pada Tuhan?
“Langit!!!”
Aku membuka mataku lebar, menatap seorang wajah wanita yang familiar. “Ibu…”
“Langit…”
Mimpi, aku menghela napas. “Kenapa Bu?”
“Ibu memanggilmu berulang kali. Apa yang kau mimpikan?”
Aku terdiam, aku takut menceritakannya. Aku yakin itu hanya pikiran gila dari bagian tidak waras dalam otakku ini. Ibu tidak berhak tahu.
“Bintang…”
Aku menatap Ibu heran. “Bagaimana bisa Ibu tahu?”
Iya tersenyum, bukan senyum itu. Tapi senyum sinis yang biasa aku tujukan hanya untuk Bintang, “Bangun, dan pergi kerumah sakit. Temui Bintang.”
“Rumah sakit?!” rasa takut dahulu kembali merangkulku. Memelukku. Seakan bertemu teman lama. Kenapa kembali? “Apa yang terjadi Bu?!”
“Tenanglah, dan jenguk ia dirumah sakit dulu, ia dirawat. Kau akan mengetahui apa yang terjadi” jawab Ibu sambil meninggalkan kamarku.


。。。

Aku berlari dikoridor rumah sakit. Bingung, kalap. Kata bahkan tak mampu menggambarkan apa yang aku rasakan.
“Langit?”
Aku berhenti berlari, benarkah itu suara Bintang. Aku terdiam, menutup mataku tidak berani mencari sumber suara itu. Aku takut.
“Langit?” suara itu semakin mendekat. Dan, sentuhan dipundakku memaksa kedua mataku untuk bergerak reflek membuka.
Gravitasi tidak pernah mau kalah. “Bintang?!” jatuh mengalir dipipiku akhirnya, airmata yang sudah sekuat tenaga aku tahan ini. Dengan sendirinya tanganku bergerak mengelus pipinya. “Bintang?”
Ia mengelus pipiku, menghapus jejak-jejak kesedihan ini. “Ya Langit?”
Aku menggenggam lengannya. “Kau disini Bintang?”
Segaris senyum kecil perlahan melengkung dibibirnya. “Aku disini.”
Aku memeluknya erat seperti anak kecil yang tidak mau lepas dari pelukan ibunya. Perlahan terbayang perkataan Bintang padaku itu;
“Jantung ini, kau meminta memohon pada orang itu bukan karena kau peduli padaku, bukan! Ini semua kau lakukan karena kau takut, kau takut kehilanganku. Kau takut berada di dunia ini sendiri.”
Benarkah? Benarkah perkataan Bintang? Akan aku yang terlalu egois karena aku takut berada disini sendiri. Bintang mengelus rambutku. Membiarkan aku menangis dipelukannya.
“Apa yang terjadi?” tanyaku disela tangisku.
Bintang merenggangkan pelukannya, mengusap air mataku, lagi. Dan menepuk-nepuk kepalaku. “Things are better now.”
Aku menatapnya bingung. Seakan ia menaruh sejumlah kerikil di pundakku. “Apa?”
Bintang tertawa. Tawanya terdengar menyeramkan, sungguh seakan hatiku teriris oleh tawanya. “Jantung ini, tidak dapat berkoordinasi dengan baik. Jantung ini, nampaknya tidak dapat beradaptasi dengan tubuhku, Langit.”
Aku terdiam. Bintang seolah berkata dalam bahasa lain dan otakku menolak untuk memahaminya. Apa yang ia katakan? Apa yang ia maksud? “Bintang. Bisakah kau bicara dalam bahasa yang dapat aku mengerti?”
Ia menatapku dengan tatapan tidak percaya. “Kau mau aku menjelaskannya dengan sederhana?”
Aku termenung. Sungguh, aku takut mendengar apa yang akan ia katakan. “Jangan ucapkan Bintang.” Aku menutup kedua telingaku dengan tangan, menunduk. “Jangan!”
Ia memelukku lagi, erat. “Mungkin aku akan pergi, sebentar lagi.” Bisiknya halus dikupingku. Dunia seakan berbalik, berlari menjauhiku. Meninggalkan aku sendiri. Tidak, aku dengannya. Dengan si rasa takut, ia menggenggam tanganku erat, dan seakan menyeringai kepadaku. “Tapi tenang, karena aku akan kembali padamu, Langit. Pada Langitku.”
Entah bagai halilintar di dalam terik matahari.
“Bintang,” tubuhnya terasa melemas. “Bintang?!” aku mulai panik, tak kuat aku menyanggah berat badannya hingga aku jatuh terduduk dan Bintang tergulai lemas di pelukanku. Sungguh aku tak dapat memikirkan apapun, apa yang harus aku lakukan.
“Bintang!”
Tiba-tiba serombongan suster mengangkat tubuhnya, merenggut Bintang dari pelukanku. Membawanya menuju ruang darurat. Seolah saraf-saraf ku menolak untuk diberi perintah, aku tidak dapat mengontrol tubuhku sendiri, aku terdiam disana.

No comments:

Post a Comment

mind leave a piece of ur heart?