“Miracle.” Aku tersenyum
membaca tulisan di majalah dinding.
“Logis.” Seorang lelaki
berkata disampingku. Aku menoleh menatapnya. “Ini logis, bukan keajaiban.
Obatnya bekerja, ia bangun kembali dari komanya. Bukan miracle yang Tuhan
berikan.”
“Tidak lagi Bintang, aku muak
berdebat denganmu.” Aku berjalan meninggalkannya.
“Takut kalah Langit?!”
sentaknya. Tidak aku tidak terpancing kali ini.
Lama sudah sampai aku tidak
ingat sejak kapan ia tidak percaya lagi pada Tuhannya, atau seharusnya Tuhan
kami? Ia berhenti disana. Ia tinggalkan rasa percanya pada Tuhan.
“Langit.” Bintang berjalan
disampingku mencoba mensejajarkan langkahku yang tergesa-berlari darinya. Tidak.
Aku tidak menoleh kearahnya, sedikitpun tak meliriknya. “Berhenti berlari dari
ini semua, dan akui bahwa Tuhan memang tidak ada!”
Aku berhenti berjalan, ku
tatap wajahnya marah. “Jangan paksa aku untuk percaya bahwa apa yang aku
percayai itu tidak ada!”
“Ini kenyataan Langit! Tuhan
tidak ada! Aku hampir mati disana dan Tuhan tidak sedikitpun mengulurkan
tangannya.” Ia menatapku tajam. “Tapi kau! Kau yang menolongku.”
Pelan aku menutup mataku,
menenangkan diriku. “Bukan aku yang menolongmu Bintang, tapi Tuhan. Ia
mengirimkan wanita itu agar Ia mau membiarkan anaknya mendonorkan jantungnya
kepadamu!”
“Mengirimkan?! Ia bahkan bukan
malaikat!” Bintang terdiam menarik nafas panjang. “Tidak jika kau tidak
menangis dan hampir bersujud pada perempuan itu. Bukan Tuhan, sekalipun ia
ada!”
“TUHAN YANG MENGGERAKKAN
HATINYA!” bentakku kasar. “Shit
Bintang! Kau punya seluruh kebebasanmu untuk tidak mempercayai Tuhan. Tapi
jangan membawaku di jalan itu.” Aku membalikkan badanku berjalan pelan
meninggalkannya, aku menoleh sebentar. “Jangan lagi, mengejarku kali ini, jika
kau hanya ingin mengatakan, bahwa Tuhan itu tidak ada.” Panas. Aku bisa
merasakan tatapan nanar Bintang dipunggungku.
Aku tidak menangis meminta,
bukan untuk membuatmu menjadi seperti ini. Bukan untuk membuatmu memusuhi
Tuhan.
。。。
Satu, dua, tiga,
“Satu. Langit.” Bintang
berbaring disampingku.
Aku terdiam menyadari
suaranya.
“Sebanyak apapun kau
menghitung Bintang-bintang itu, hanya satu yang tetap akan kau cintai.” Aku benci
saat Bintang mampu mengucapkan kenyataan yang tidak berani aku hadapi.
Mencintainya. “Alkisah, dahulu kala ada seorang Raja Ethiopia yang memiliki
permaisuri yang bernama Cassiopeia dan seorang putri yang bernama Andromeda…”
Aku menyenderkan kepalaku
kebahunya bersiap-siap hanyut dalam dongengnya.
“Permaisuri Cassiopeia memang
sangat cantik, namun kecantikannya membuatnya sombong. Kesombongan Cassiopeia
membuat Venus dan para dewi laut marah. Mereka lalu megadu pada Neptunus, sang
Dewa laut…”
“Kalau kau percaya pada
dongeng yunani seperti ini, kenapa kau tidak percaya bahwa Tuhan itu ada?”
gumamku pelan hampir larut dalam nyamannya suasana ini.
Ia terduduk. “Karena Tuhan
apapun itu yang kau sebut memang tidak ada. Kau merusak moodku Langit.” Lalu Ia
pergi meninggalkanku.
。。。
“Mana Bintang, Langit? Sudah
lama ia tidak datang kesini.” Aku terdiam mendengar pertanyaan Luna, gadis kecil-yang
mungkin ada hati pada Bintang.
“Ia tidak berada dalam satu
lingkungan denganku lagi Luna.” Jawabku tanpa mengalihkan perhatian dari buku
yang kubaca.
“Kenapa?” Luna berdiri
di sampingku sambil melongok-mengintip buku yang kubaca. “Karena ia dan dengan
ketidak percayaannya akan Tuhan, yang Bintang, aku dan semua orang percayai?”
Aku diam lalu menatap
mata Luna dalam, merenung akan kalimat yang terucap dari mulut gadis kecil ini.
“Itu tidak adil,
Langit. Ia tetap Bintang yang kau kenal, sampai kapanpun. Aku tahu sampai
kapanpun kau akan tetap menyayanginya.” Luna menatapku dalam. “Jika kau mau ia
kembali didalam satu lingkungan yang kau sebut dengan orang-orang yang
mempercayai Tuhan ini. Berhenti berlari darinya. Tapi kejar ia, raih lagi tangannya.”
“Luna dengar, kau masih
kecil dan kau tidak mengerti permasalahan ini.” Pelan aku menjawab.
“Tak berarti aku tidak
paham dunia lebih sedikit darimu Langit.” Ucapnya tetap menatapku angkuh. Gadis
kecil ini, ia memang selalu dapat mengejutkan setiap orang.
“Sudahlah Luna, asal
kau tau. Aku sudah berusaha untuk mengejarnya, meraih tangannya” jawabku
akhirnya, entah kepada Luna kah atau pada diriku sendiri. Bahkan aku tidak
dapat yakin. Jawabankah itu, atau pernyataan agar diriku tenang.
“Tak sekuat kau mencoba
meminta pada Ibu itu untuk memberikan jantung anaknya kepada Bintang.” Luna
tersenyum sinis, membalikkan badannya menuju ke ambang pintu. Disana ia
berdiri. “Dengar kata hatimu Langit, lakukan apa yang kau mau.”
Memandang punggung Luna
berjalan menghilang dari balik pintu membuatku sadar lama sudah aku tak lagi
pernah berbicara pada Bintang. Tidak aku tidak marah padanya, aku kecewa pada
diriku sendiri. Yang telah membuatnya menjadi seperti ini. Aku tahu aku berlari
darinya karena aku takut menghadapi kenyataan ini. Aku benci mengakui ini tapi
kemungkinan besar, gadis kecil ini mengatakan hal yang benar. Aku harus
berhenti berlari darinya.
。。。
“Ini jelas mustahil. Tidak
mungkin terjadi.” Tawa Bintang membaca sebuah artikel.
Sengaja aku menyempatkan diri
mencuri pandang kepada kertas yang dipegang Bintang. Lalu memandangnya konyol.
“Ya itu bisa terjadi, seandainya kau percaya bahwa Tuhan itu ada.”
“Tuhan itu tidak ada Langit.”
Aku sudah hapal kata-kata ini.
Ku pandangnya miris. “Lalu
anda tercipta dari apa Bintang?”
Bintang tertawa. “Saya
tercipta dari sebuah proses yang bernama gestasi. Dimana sel sperma dan sel
telur bertemu hingga terjadi…”
Aku menepuk dadanya. “Cut it
out, maaf saya lupa anda professor besar. Tapi bukan itu yang Saya bicarakan.
Apa anda pikir manusia pertama ada juga karena terjadinya sebuah proses yang
bernama gestasi?”
Bintang diam.
Aku tertawa. “Atau mereka
terlahir dari sebuah batu?”
Ia memandangku geram. “Saya
berteguh pada prinsip saya bahwa Tuhan itu tidak ada. Terserah anda mau
berbicara apa.” Lalu ia mengambil setumpukan buku miliknya dan bersegara
meninggalkanku.
“Ya Bintang, pergi saja, itu
membuktikan bahwa anda kalah.” Ia menoleh padaku dan menatapku sinis, lalu
membalikan badannya dan dengan segera berjalan menjauh.
。。。
Tak sengaja ku tatap dalam
matanya, saat aku menutup buku tentang rasi bintang. Berhasil, tanpa hitungan
menit aku yakin ia akan menghampiriku. Bintang berjalan pelan menuju ke arahku.
Matanya tajam menatap sampul buku yang aku genggam erat itu.
“Tak pernah ada dalam sejarah
seorang sepertimu membaca buku ini seperti ini.” Sinisnya.
“Seperti ini?” aku memandang
matanya. Yang seharusnya teduh itu. “Apa yang kau maksud dengan seperti ini?”
tantangku.
“Buku mitos, tentang rasi
Bintang. Why u bother asked me? U just
read it.” Aku tahu, pasti, Bintang mulai marah.
Aku tersenyum getir. “Yah,
mitos. Kalau kau bisa tahu buku ini,” Aku mengangkat buku itu tepat
dihadapannya. “Adalah sebuah mitos, fiksi, berarti kau tahu apa yang nyata dan
tidak.”
“Ya, aku tahu. Tuhanmu itu
tidak nyata.” ia menyambar buku yang kupegang itu dengan kasar. “Dengar
Bintang!” teriaknya. Tepat saat penjaga buku itu berjalan kearah kami.
“Maaf, urusan pribadi bisa
kalian lakukan diluar.” Ia mengambil buku yang di pegang BIntang, lalu berjalan
menjauhi kami.
“Apa yang kau lakukan
Bintang?!” sentakku, saat ia menarik tanganku keluar dari perpustakaan. Ia
tidak bergeming tetap menyeretku kearah taman.
“KAU!” ia melemparku kasar
hingga aku terjatuh di bangku taman. “Saat kau bilang agar aku berhenti
mengejarmu hanya untuk memberitahumu bahwa Tuhan itu tidak ada, aku berhenti
disana pada saat itu. Ku letakkan egoku disana Langit!” napasnya memburu. Ia
menatapku tajam. “Kenapa sekarang kau kembali, mengejar-ngejar yang kau bilang
kenyataan ini agar aku mau mempercayainya?”
Aku terdiam, entah ribuan
pikiran membuatku tak dapat berkata-kata. Ku telungkupkan tanganku menutupi
wajah. Aku menggeleng. “Mungkin karena aku peduli pada..”
“Stop, jangan katakan bullshit itu lagi Langit! Kau peduli
padaku? Tidak! Kau! Peduli! Pada dirimu sendiri. Bukan aku!” bentaknya kasar.
Sekilas aku melihat genangan air yang perlahan mengalir di wajahnya.
Aku menatapnya heran. Aku
menggeleng, tak sampai pesannya kepadaku. Aku tak mengerti.
Ia tertawa miris, mengelap
butiran air mata itu. “Dari awal, kau hanya peduli pada dirimu sendiri.” Ia
meletakkan tangannya tepat didadanya. “Jantung ini, kau meminta memohon pada
orang itu bukan karena kau peduli padaku, bukan! Ini semua kau lakukan karena
kau takut, kau takut kehilanganku. Kau takut berada di dunia ini sendiri.”
Aku terdiam, mengulas ulang
tahun terakhir ini, atas apa yang aku lakukan, benarkah perkataan Bintang bahwa
Aku, seegois itu.
“Dan kini saat Aku yakin bahwa
Tuhan itu tidak ada, kau takut! Kau takut bahwa aku benar dan Aku akan
meninggalkanmu selamanya.”
Aku menamparnya, sekuat tenaga
aku menahan agar butiran air mata ini tidak jatuh mengalir, menunjukkan
kelemahanku. “Mungkin kau benar bahwa aku takut kau meninggalkanku, tapi..” aku
menarik napas panjang bersamaan dengan mengalirnya air mataku, mengkhianati
diriku sendiri. “Untuk sepicik itu, aku membiarkanmu tetap hidup hanya karena
aku takut untuk hidup seorang diri, TIDAK! Dan kau harus benar-benar tahu!
Tuhan itu ada. Ia ada”
“Stop denying everything.” Ucapnya sambil mengelus pipinya yang
merona merah jejak kemarahanku. Lalu ia meninggalkanku.
Aku terdiam disana, menangis
sekuatku membiarkan segala apa yang aku pikirkan keluar sejenak dari pikiranku.
Mengosongkan isi otakku yang sudah terlalu penuh.
。。。
“Pelangi. Jika pengamat melihat
pengamat lain yang tampaknya berada di bawah atau berada di ujung dari akhir
pelangi, pengamat kedua akan melihat pelangi yang berbeda dari pengamat pertama
meski dalam sudut yang sama seperti yang dilihat pengamat pertama.” Tenang
seperti air yang dalam, tersenyum sinis menatap tepat ke arahku. Bintang
disana, dipanggung itu berdiri mengutarakan pendapatnya atas keyakinan yang ia
pegang teguh sekarang ini. Akan ketidak hadiran Tuhan dalam hidupnya. Dan
kemungkinan besar dalam hidup manusia di bumi ini.
“Lalu kau pikir dunia ini
bagaimana tercipta tanpa Tuhan? Gila.” sinis seorang peserta yang duduk
dideretanku.
Bintang menatapnya tenang. “Bigbang?”
Seorang perempuan dengan
Rosario yang melingkar indah di lehernya berdiri sambil mengangkat tangannya.
“Perhaps u know, orang yang mencetuskan teori ini adalah seorang biarawan Katolik Roma Belgia bernama Georges Lemaitre…”
Belum selesai sang gadis
menyanggah pendapat Bintang, berdiri lagi seorang lelaki memakai peci. “Dan
apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya.
Dan dari air kami jadikan segalanya sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka
tiada juga beriman. Surat Al-Anbiya’ : 30. Ada didalam sebuah kitab bernama
Al-Quran, anda sebagai Atheis…”
Sang gadis kembali mencela.
“Anda sebagai Atheis beraninya menggunakan teori atas dasar apa?”
Tak sedikit pun nampak
kegelisahan dimata Bintang, ia malah nyaris tertawa. “Teori, ilmu, bukankah itu
termasuk dalam pelajaran fisika?”
Si lelaki dengan peci yang
masih belum juga duduk karena ketidak puasannya berseru lagi. “Pada Tahun 1981, Stephen Hawking, seorang fisikawan terkenal, saya harap anda mengenalnya, menghadiri sebuah konferensi kosmologi yang
disponsori oleh vatikan. Hawking dan koleganya dipertemukan dengan paus, yang
mengatakan kalau, menurut Hawking, “sah-sah saja mempelajari evolusi alam
semesta setelah big bang, namun kita tidak boleh mempelajari big bang sendiri
karena itu adalah saat penciptaan dan berarti pekerjaan tuhan.” Sedang si gadis
melirik sambil tersenyum kecil ke arah si lelaki dengan peci.
Bintang sedikit menundukkan kepalanya, menyingkap
sedikit rambutnya kebelakang membenarkan kacamatanya. “Mungkin
paus tidak tahu kalau sehari sebelumnya, hawking telah memberi kuliah mengenai
kosmologi inflasioner model Hawking-Hartle, sebuah model alam semesta awal yang
menggabungkan mekanika kuantum dan relativitas umum untuk menunjukkan alam
semesta yang, dalam kata-kata hawking, “terhingga namun tanpa batas” – yang
berarti kalau alam semesta tidak tercipta, tidak punya awal atau akhir; ia ada
selamanya.” Ia tertawa.
“Yang kalian bilang Tuhan tidak membuat kalian abadi tapi Hawking mampu membuat
dirinya sendiri ada, untuk selamanya.”
Si lelaki dengan peci menunduk perlahan duduk kembali
di bangkunya. Bukan, ia tidak kalah ia butuh sumber lebih jelas untuk melawan
si kafir ini. Sedang si gadis akhirnya ikut duduk dengan segelintir kecewa
terlihat dikerlingan matanya, entah kecewa terhadap apa. Mengapa domba ini
sulit sekali untuk diyakinkan bahwa Tuhan itu ada, pikirnya dalam hati.
“Sekali lagi simple,Tuhan kalian berbeda-beda.”
Seorang, entah siapa bagaimana rupanya berseru
kencang; “Tidak tuhan kami satu kami yang berbeda.” Elaknya.
Nyaris Bintang terbahak mendengarnya. “Hey anda,
siapapun anda. Beritahu saya, Tuhan kau itu! Bilang siapa yang paling benar
disini? Gadis dengan Rosarionya? Atau si lelaki dengan pecinya ini?”
Diam, hening. Aula itu begitu sepi. Hembus angin pun
nampaknya memecah keheningan. “Kalau Tuhan kalian satu mengapa kalian berdua
tidak beranak dan berkeluarga bersama?” hardik Bintang pada kedua peserta tadi.
Sudah cukup untukku, sudahlah Bintang tidak mungkin
lagi berjalan ke arah yang sama denganku, entah ia domba dungu atau seorang
kafir. Aku, sudah tidak peduli. Atau setidaknya itu yang otakku pikirkan dan
memberikan perintah itu keseluruh bagian tubuhku. Aku bangkit dari kursiku,
hampir beranjak meninggalkan ruangan itu.
“Jangan kalian kalah atas apa yang aku percayai, aku
sendiri sedang kalian dengan Tuhan kalian masing-masing, yang kalian percayai
ada itu.” Bintang sinis, ya perkataannya memang tertuju padaku agar aku tidak
pergi dari ruangan ini.
Aku terdiam lalu menatapnya. “Maaf Tuan,” seisi mata
aula langsung tertuju ke arahku. “Aku tidak peduli atas segala teori anda yang
mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. Karena aku percaya pada Tuhanku, ia ada.
Ia menciptakanku sebagaimana kitabku menjelaskannya padaku. Aku tidak butuh
alasan jelas untuk mempercayainya dan membuat kau percaya. Tapi ia ada.”
“Tunjukan Tuhan mu padaku.” DANG! Bintang apa lagi
yang kau mau.
Aku tersenyum miris menunduk sebentar, belum sempat
aku menjawab ia dengan lantang menghardikku. “Tak ada yang bisa kau ucapkan?!”
“Diam, tenang dan pikirkan. Kapan saat-saat
tertenangmu dalam hidup ini?” tanyaku masih dengan senyum khasku yang mungkin
dulu dapat meluluhkan hati lelaki ini.
Ia diam, tertunduk. Lama. Hening, seisi aula memandang
ke arahnya. Membuat ia merasa semakin tersudut, terpojok dan tertekan untuk
dapat menemukan jawaban di otaknya. Karena aku tau Bintang. Saat tenangmu, saat
denganku dan dengan Tuhanmu.
。。。
“Langit…”
Aku terdiam, seakan kudengar seseorang berulang-ulang
memanggil namaku. Aku mencoba membuka mataku. Perlahan, dan aku melihat cahaya
yang begitu menyilaukan dihadapanku.
“Langit…”
“Bintang? Kaukah itu?” ucapku dalam hati. Tapi tak
dapat ucapan hatiku itu berubah menjadi suara nyata. Aku terhenyak. “Bintang?”
lagi ku coba memanggilnya.
Tapi Bintang seakan tidak dapat melihatku. Ia
seolah-olah berada di dimensi yang lain.
“Langit…” tangisnya, kini ia meronta. Meronta entah
pada apa yang membelenggunya. Entah pada siapa tangisnya diberikan. Aku kah?
Atau memang tertuju pada Langit? Pada Tuhan?
“Langit!!!”
Aku membuka mataku lebar, menatap seorang wajah wanita
yang familiar. “Ibu…”
“Langit…”
Mimpi, aku menghela napas. “Kenapa Bu?”
“Ibu memanggilmu berulang kali. Apa yang kau
mimpikan?”
Aku terdiam, aku takut menceritakannya. Aku yakin itu
hanya pikiran gila dari bagian tidak waras dalam otakku ini. Ibu tidak berhak
tahu.
“Bintang…”
Aku menatap Ibu heran. “Bagaimana bisa Ibu tahu?”
Iya tersenyum, bukan senyum itu. Tapi senyum sinis
yang biasa aku tujukan hanya untuk Bintang, “Bangun, dan pergi kerumah sakit.
Temui Bintang.”
“Rumah sakit?!” rasa takut dahulu kembali merangkulku.
Memelukku. Seakan bertemu teman lama. Kenapa kembali? “Apa yang terjadi Bu?!”
“Tenanglah, dan jenguk ia dirumah sakit dulu, ia
dirawat. Kau akan mengetahui apa yang terjadi” jawab Ibu sambil meninggalkan
kamarku.
。。。
Aku berlari dikoridor rumah sakit. Bingung, kalap.
Kata bahkan tak mampu menggambarkan apa yang aku rasakan.
“Langit?”
Aku berhenti berlari, benarkah itu suara Bintang. Aku
terdiam, menutup mataku tidak berani mencari sumber suara itu. Aku takut.
“Langit?” suara itu semakin mendekat. Dan, sentuhan
dipundakku memaksa kedua mataku untuk bergerak reflek membuka.
Gravitasi tidak pernah mau kalah. “Bintang?!” jatuh
mengalir dipipiku akhirnya, airmata yang sudah sekuat tenaga aku tahan ini.
Dengan sendirinya tanganku bergerak mengelus pipinya. “Bintang?”
Ia mengelus pipiku, menghapus jejak-jejak kesedihan
ini. “Ya Langit?”
Aku menggenggam lengannya. “Kau disini Bintang?”
Segaris senyum kecil perlahan melengkung dibibirnya.
“Aku disini.”
Aku memeluknya erat seperti anak kecil yang tidak mau
lepas dari pelukan ibunya. Perlahan terbayang perkataan Bintang padaku itu;
“Jantung ini, kau
meminta memohon pada orang itu bukan karena kau peduli padaku, bukan! Ini semua
kau lakukan karena kau takut, kau takut kehilanganku. Kau takut berada di dunia
ini sendiri.”
Benarkah? Benarkah perkataan Bintang? Akan aku yang
terlalu egois karena aku takut berada disini sendiri. Bintang mengelus
rambutku. Membiarkan aku menangis dipelukannya.
“Apa yang terjadi?” tanyaku disela tangisku.
Bintang merenggangkan pelukannya, mengusap air mataku,
lagi. Dan menepuk-nepuk kepalaku. “Things
are better now.”
Aku menatapnya bingung. Seakan ia menaruh sejumlah
kerikil di pundakku. “Apa?”
Bintang tertawa. Tawanya terdengar menyeramkan,
sungguh seakan hatiku teriris oleh tawanya. “Jantung ini, tidak dapat berkoordinasi
dengan baik. Jantung ini, nampaknya tidak dapat beradaptasi dengan tubuhku, Langit.”
Aku terdiam. Bintang seolah berkata dalam bahasa lain
dan otakku menolak untuk memahaminya. Apa yang ia katakan? Apa yang ia maksud?
“Bintang. Bisakah kau bicara dalam bahasa yang dapat aku mengerti?”
Ia menatapku dengan tatapan tidak percaya. “Kau mau
aku menjelaskannya dengan sederhana?”
Aku termenung. Sungguh, aku takut mendengar apa yang
akan ia katakan. “Jangan ucapkan Bintang.” Aku menutup kedua telingaku dengan
tangan, menunduk. “Jangan!”
Ia memelukku lagi, erat. “Mungkin aku akan pergi,
sebentar lagi.” Bisiknya halus dikupingku. Dunia seakan berbalik, berlari
menjauhiku. Meninggalkan aku sendiri. Tidak, aku dengannya. Dengan si rasa
takut, ia menggenggam tanganku erat, dan seakan menyeringai kepadaku. “Tapi
tenang, karena aku akan kembali padamu, Langit. Pada Langitku.”
Entah bagai halilintar di dalam terik matahari.
“Bintang,” tubuhnya terasa melemas. “Bintang?!” aku
mulai panik, tak kuat aku menyanggah berat badannya hingga aku jatuh terduduk
dan Bintang tergulai lemas di pelukanku. Sungguh aku tak dapat memikirkan
apapun, apa yang harus aku lakukan.
“Bintang!”
Tiba-tiba serombongan suster mengangkat tubuhnya,
merenggut Bintang dari pelukanku. Membawanya menuju ruang darurat. Seolah
saraf-saraf ku menolak untuk diberi perintah, aku tidak dapat mengontrol tubuhku
sendiri, aku terdiam disana.
No comments:
Post a Comment
mind leave a piece of ur heart?